SANGATTA. Kejaksaan Negeri (Kejari) Kutai Timur (Kutim) telah melimpahkan berkas perkara tersangka La Rusli ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Samarinda.
Menurut Kasi Pidsus Kejari Kutim Michael A.F.Tambunan, berkas tersebut tidak disertai tersangka karena La Rusli masih dalam daftar pencarian orang (DPO).
“Hakim Tipikor sudah menyetujui sidang dilakukan in absentia terhadap La Rusli karena berbagai upaya telah dilakukan penyidik untuk mencari tersangka, namun hingga kini tidak diketahui keberadaannya,” kata Kasi Pidsus Kejari Kutim Michael A.F.Tambunan diruang kerjanya, Kamis, 18/07/2024
Sidang akan tetap digelar pada 1 Agustus dengan agenda pembacaan dakwaan. Dijelaskan bahwa dalam kasus ini, La Rusli tidak berhak mendapat pendampingan hukum atau pembela, sesuai aturan. “Karena dia dianggap tidak menggunakan haknya, meskipun demikian, sidang mulai dari pembacaan dakwaan hingga mendengar keterangan saksi akan dilakukan sebagaimana persidangan biasa. Bedanya, dia tidak berhak atas pembelaan,” tambahnya.
La Rusli, yang merupakan mantan pegawai Dinas Pendidikan Kutim, adalah tersangka utama dalam kasus pengadaan solar cell di Dinas Pendidikan Kutai Timur tahun 2020. Dalam kasus ini, dua orang lainnya telah berstatus terdakwa dalam proses sidang, yakni Ab dan R. Keduanya didakwa melakukan korupsi dalam kasus ini yang merugikan negara sebesar Rp16,6 miliar dari total nilai proyek sebesar Rp24 miliar, berdasarkan hitungan Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Kaltim.
Seperti diberitakan sebelumnya, Kejari Kutim melakukan penyidikan pengadaan solar cell di Dinas Pendidikan Kutim tahun anggaran 2020. Kasus ini memiliki pagu anggaran Rp80 miliar, dengan Rp24 miliar di antaranya khusus untuk pengadaan solar cell, sedangkan sisanya untuk pengadaan tempat sampah, tas, dan lainnya.
Berdasarkan hitungan awal, khusus pengadaan solar cell, penyidik menduga kerugian negara sekitar Rp19 miliar, namun berdasarkan hitungan BPKP, kerugian tersebut mencapai Rp16,6 miliar. Modus korupsi dalam kasus ini, menurut hasil pemeriksaan saksi-saksi, adalah dengan menjadikan anggaran Rp24 miliar per paket dengan nilai anggaran Rp190-200 juta untuk menghindari pelelangan dan memungkinkan penunjukan langsung.
“Jumlah paket kegiatan sudah diplot dan dikuasai oleh beberapa orang yang sudah ditentukan untuk menjadi pelaksana atau rekanan pekerjaan dengan sistem penunjukan langsung. Penyusunan harga perkiraan sendiri (HPS) dilakukan tidak berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, alias terjadi penggelembungan harga”ujar Tambunan ( liku/*)