Berita DaerahUMKM & Ekonomi Rakyat

Energi Hijau dari Tanah Dayak: Pertamina EP Sangatta Menyuburkan Ekonomi Warga Lewat Cobek Ulin dan Jamur Tiram

 

KUTAI TIMUR – Di tengah bayang-bayang industri migas yang sering hanya dihitung dari produksi, lifting, dan capaian sumur, ada denyut ekonomi lain yang tumbuh perlahan namun pasti dari tanah Dayak. Energi di Kutai Timur tidak hanya menyembur dari tekanan pipa bor, tetapi juga menyala dari tangan warga desa yang mengubah limbah menjadi peluang, tradisi menjadi produk, dan keraguan menjadi kekuatan. Di Desa Sangkima dan Dusun Danau Raya, Desa Persiapan Pinang Raya, Kecamatan Sangatta Selatan, dua kelompok masyarakat membuktikan bahwa energi hijau bisa lahir dari bahan yang dianggap tak bernilai—kayu ulin sisa tebangan dan minyak jelantah dari dapur-dapur kampung.

Masyarakat Dayak Kenyah di tepian hutan Taman Nasional Kutai dikenal hidup selaras dengan alam. Mereka tidak terbiasa memaksa tanah, tetapi merawatnya. Pada 2012, saat limbah kayu ulin bekas tebangan hanya dianggap sisa yang dibiarkan membusuk, Pertamina EP Sangatta melihat peluang yang jarang disadari orang: budaya bisa hidup kembali jika diberi ruang dan pengakuan. Dari pengamatan itu lahirlah Kelompok Ukir Dayak “Nengayetna” (Perjuangan), dipimpin Tanen Uyang, lelaki 76 tahun yang lebih banyak bekerja dengan tangan daripada berbicara.

Melalui program CSR, Pertamina EP memberikan dukungan mulai dari genset hingga perlengkapan ukir lengkap. Bantuan itu bukan sekadar simbol, melainkan pengakuan bahwa karya Dayak memiliki nilai ekonomi dan layak dipasarkan. “Pejabat Pertamina sering membeli cobek untuk cinderamata ketika ada tamu atau saat pameran di luar daerah. Dari situ kami sadar, karya kami bisa hidup,” ujar Tanen Uyang yang lebih akrab disapa “Teli’ ” panggilan tetua bagi suku dayak kenyah..

Cobek ulin karya mereka tidak dibuat tergesa-gesa. Tidak ada mesin potong otomatis; semua dikerjakan perlahan dengan rasa. Dijual Rp50.000–Rp200.000 per buah, kelompok ini meraih omzet rata-rata Rp6 juta per bulan. Tahun 2022, setelah sepuluh tahun menjadi mitra binaan, kelompok Nengayetna sepakat membubarkan diri bukan karena gagal, tetapi karena berhasil. Setiap anggota memilih membuka usaha ukir mandiri. Tanen Uyang bahkan menabung dan pada Mei 2025 meresmikan usaha pencucian sepeda motor yang kini dijalankan anaknya. “Dulu kami hanya ambil hasil hutan. Sekarang kami menciptakan hasil sendiri, tapi budaya tetap kami jaga,” ucapnya didampingi anak Akino Uyang

Tak jauh dari sana, semangat serupa menyala di Dusun Danau Raya, Desa Persiapan Pinang Raya. Di RT 03 Gang Kamarema, sejumlah ibu rumah tangga mengubah dapur kecil mereka menjadi pusat produksi pangan lokal. Kelompok Wanita Tani Berseri, dipimpin Sri Subekti dan didampingi Arniati, memulai langkah pertama pada 2022 dengan 200 baglog jamur tiram. Awalnya banyak yang meremehkan. Budidaya jamur dianggap rumit dan tidak menguntungkan. Namun Pertamina EP hadir dengan keyakinan, bukan rasa kasihan.

“Pertamina bilang, jangan takut mulai kecil. Yang penting mulai dulu. Kata-kata itu yang kami pegang,” kenang Sri Subekti.

Setelah 200 baglog pertama berhasil, Pertamina menambah 500 baglog dan menggandeng Pemerintah Desa Sangatta Selatan untuk pelatihan intensif selama tiga hari. Produksi meningkat, tetapi dapur tidak lagi memadai. Pertamina EP kembali hadir, membangun ruang produksi baru lengkap dengan alat pengemasan modern, desain label, dan pendampingan digital agar produk jamur tiram, sambal jamur, dan keripik jamur dapat bersaing seperti produk UMKM unggulan.

Kini, tahun 2025, kelompok ini memiliki 12 rumah jamur dengan 20 anggota aktif. Semua hasil panen tiap pagi dikumpulkan, dipilah, ditimbang, dikemas sebelum disalurkan ke pelanggan, mulai dari rumah makan, hotel, pasar tradisional, hingga pasar induk dengan menggandeng kurir lokal Sangatta.

Hasil panen dijual Rp45.000 per kilogram, dengan pendapatan Rp9–Rp10 juta per bulan, ditambah produksi olahan sambal dan keripik jamur yang menyumbang Rp3 juta lagi. Total omzet mereka kini mencapai Rp11–Rp12 juta per bulan. Hingga 60 persen pasokan jamur tiram di Sangatta berasal dari dapur para ibu kampung ini. Ketua dan sekretaris kelompok mendapat gaji tetap meski belum besar, namun mereka bersyukur, kata Sri dan Arniati dari rumah produksi yang serba putih bersih.

Pada Juni 2025, mereka resmi menandatangani kemitraan lima tahun bertajuk Bina Pertiwi bersama Pertamina EP, berlaku hingga 2029. Skema ini bukan sekadar program bantuan, tetapi penciptaan ekosistem ekonomi lokal yang mampu berdiri mandiri bahkan setelah program selesai.

Yang menarik, energi hijau di kampung ini tidak berasal dari panel surya atau turbin angin. Sterilisasi baglog dilakukan menggunakan kompor berbahan bakar minyak jelantah yang dibeli dari warga sekitar. “Kami beli minyak jelantah dari warga. Dapur tetap menyala, warga dapat tambahan penghasilan, dan lingkungan bersih,” ujar Arniati. Dapur produksi menggunakan gas bantuan Pertamina, namun seluruh limbah baglog bekas diolah menjadi kompos. Pertamina EP bahkan tengah menguji pemanfaatan pelepah sawit sebagai bahan baglog alternatif agar lebih ramah lingkungan.

Manajer Sangatta Field, Cahyo Nugroho, menegaskan, “Kami tidak ingin sekadar memberi bantuan. Kami ingin warga bisa berdiri dengan kaki sendiri,” ujar bersama Elis Fauziah (Head of Comrel & CID Zona 9) dan Fitri Azizah (CSR Pertamina EP) yang sejak awal menjadi motor pendampingan.

Kini, mimpi para ibu di Danau Raya tidak lagi berhenti di Sangatta. Mereka mulai menyebut nama Ibu Kota Nusantara (IKN) sebagai tujuan distribusi berikutnya. “Ingin suatu hari nanti di IKN ada sambal jamur tiram dan keripik jamur dari kampung kami,” kata Arniati.

Cobek ulin dari tangan Tanen Uyang dan sambal jamur tiram dari dapur Sri dan Arniati bukan sekadar produk rumahan. Keduanya adalah pernyataan—bahwa energi tidak hanya dipompa dari perut bumi, tetapi juga dipompa dari keberanian warga kampung menciptakan nilai dari tanah mereka sendiri.

 

Limbah kayu menjadi karya budaya. Minyak jelantah berubah jadi bahan bakar. Baglog bekas disulap menjadi pupuk yang menyuburkan tanah kembali. Hutan tetap berdiri. Tradisi tetap hidup. Ekonomi tumbuh. Dari tanah Dayak, energi hijau mengalir—dari limbah menjadi berkah, dari kearifan menjadi kekuatan. (*)

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button